Home | Looking for something?
  • Cerita
  • Edit
  • Sabtu, 17 April 2010

    Saekan (Gunung Wilis-Kediri)


    Published: 11 Feb 2010 15:40:00 WIB by: kickandy

    Saekan adalah seorang laki-laki sederhana yang memiliki jiwa besar. Ia merasa prihatin melihat kondisi desa Pucang Sawit di lereng gunung Wilis, tempat ia tinggal bersama dengan istrinya, Tarni setelah mereka menikah. Lahannya kering dan tandus. Tidak ada air dan tanaman hijau. Bahkan, ketika pertama kali datang Saekan mengaku pernah tidak mandi selama lima hari karena tidak ada air. Jangankan untuk mandi, air untuk konsumsi minum saja tidak ada. Tak tahan dengan kondisi tersebut, Saekan memboyong istrinya pulang ke tempat asalnya di desa Ngengat Padas.

    Di tahun 1982 Saekan dan istriya kembali ke desa Pucang Sawit. Ia melihat kondisi desa tersebut tidak berubah. Air masih menjadi barang langka. Saat mencoba untuk bercocok tanam, tanaman yang ia tanam selalu saja gagal dipanen. Merasakan sulitnya hidup dengan keterbatasan sumber air, laki-laki yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat ini tergerak untuk melakukan perubahan. Tekadnya bulat. Ia tak mau anak dan cucunya hidup terkatung-katung, tanpa air dan makanan. Menurutnya sumber utama yang terlebih dahulu harus terpenuhi adalah air bersih. Ia pun mencari sumber air di dataran tinggi di lereng gunung Wilis, menadah air tersebut dan menyalurkannya menggunakan pipa-pipa yang dibuat dari bambu ke rumahnya. Pipa bambu pertama yang ia buat hanya sepanjang satu kilo. Kemudian diperpanjang, lantaran masyarakat sekitar sering meminta asupan air dari rumahnya. Kemudian, laki-laki kelahiran tahun 1949 ini mengajak masyarakat desa Pucang Sawit untuk membuat pipa-pipa bambu. Berangsur tapi pasti, desa Pucang Sawit pun tidak kekurangan air bersih.

    Perubahan yang dilakukan Saekan tidak terhenti sampai di situ. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia dan masyarakat di lereng gunung Wilis berupaya untuk bercocok tanam. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, menanam berbagai jenis tanaman juga ditujukan untuk melestarikan air dan lingkungan sekitar. Menurut Saekan, setelah sumber air tersedia petani harus menanam tanaman yang menghasilkan, seperti kakao, kopi, cengkeh, dll. Upaya dalam bercocok tanam yang digagas oleh Saekan tergolong unik dan sederhana. Dananya dikumpulkan secara patungan. Awalnya, ia bersama dengan tujuh orang masyarakat desa Pucang Sawit mengumpulkan uang sebesar Rp. 1000 per orang, kemudian uangnya tabung dan dibungakan. Setelah terkumpul baru dibelikan bibit. Melihat keberhasilan Saekan dan ketujuh rekannya itu, ibu-ibu di lereng gunung Wilis ikut memberikan urunan dalam bentuk beras. Setiap satu orang ibu menyerahkan satu liter beras, setelah terkumpul kemudian diuangkan dan dibelikan bibit.

    Kegiatan tanam-menanam awalnya dilakukan di tanah seluas 2 hektar. Kemudian bertambah menjadi 25 hektar, dan meluas menjadi 52 hektar. Karena upaya Saekan dan masyarakat desa Pucang Sawit begitu giat dalam melestarikan lahan yang tadinya tandus dan kering ini, total keseluruhan lahan yang sudah ditanami berkembang  210 hektar. Lahan ditanami berbagai macam tanaman, seperti: kelapa, cengkeh, petai, durian, manggis, dll. Untuk memanen hasil pertaniannya, Saekan tidak harus menunggu lama. Dari hasil menanam kelapa misalnya, ia dapat memanennya setiap bulan. Sedangkan untuk tanaman cengkeh, manggis, durian, petai, kopi, dll, ia panen setiap tahun. Tidak hanya itu, setiap tahun Saekan juga memanen hasil tanaman kakaonya sebanyak 1 ton 8 kuintal. Dari hasil panen kakao, Saekan mengaku sudah dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Otomatis, perekonomian keluarga Saekan pun meningkat. Rumahnya sudah berlantaikan keramik.

    Upaya Saekan dan masyarakat desa Pucang Sawit dalam menyelamatkan lingkungan di lereng gunung Wilis dilakukan secara bergotong-royong. Bekerja secara mandiri, tanpa bantuan pemerintah. Berkat keberhasilan Saekan dalam menyelamatkan lingkungan di lereng gunung Wilis, ia dianugerahi piala kalpataru oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008 lalu. Ketika ditanya bagaimana perasaannya bertemu dengan bapak Presiden, Saekan menjawabnya dengan ada bijak. Saekan tidak berharap dipanggil oleh pak presiden, gubernur atau pun bupati. Ia hanya berharap agar anak dan cucunya hidup sejahtera, tidak terkatung-katung.

    0 komentar:

    Posting Komentar

     

    TV Channel

    google translate

    chat disini aja yuk ^^