Home | Looking for something?
  • Cerita
  • Edit
  • Minggu, 21 Maret 2010

    Dia berbaring seorang diri di dalam kamarnya yang luas. Dari seperangkat hifi yang terletak di samping ranjangnya, mengalun nyanyian lembut F4 dengan Te-Amo-nya. Di luar salju melayang-layang ke bumi bagaikan kembang-kembang putih yang menyebarkan suasana dingin di hatinya.
    Tubuhnya meringkuk dalam selimut tebal. Tetesan air mata mengalir di pipinya yang halus. Wajahnya yang cantik tak mampu menyembunyikan kepedihan yang tersembunyi dalam jiwanya. Musik. Udara dingin. Kesedihan. Rindu.
    Tiba-tiba dia ingin berseru dengan keras: “Aku kesepian, sayangku. Aku kesepian!” Dia terisak-isak. “Mengapa kau tidak lagi memahami diriku? Mengapa kau meninggalkan aku dalam lara? Apa lagi yang harus kulakukan agar kau dapat mengerti keadaanku ini? Sungguh, aku mencintaimu tetapi mengapa kau pergi…..?”

    Masa lalu yang indah kini membayang dalam selimut kabut.
    Dia, seorang dara manis, kini larut dalam sepi dan rindu setelah ditinggalkan kekasihnya. Tak ada yang mampu menghiburnya. Tak ada yang mampu membuatnya memahami hidup.
    Saat kepedihan oleh rasa sesal dan marah menggusur seluruh pemikirannya. Tidak. Tak ada lagi yang dapat dilakukannya kecuali berdiam diri sambil menyesali dan merasa gusar atas segala ketidak-adilan yang menimpanya saat ini. “Apakah salahku?” bisiknya pelan. “Ya, apakah yang telah kulakukan hingga kau meninggalkan aku?”

    “Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula dia menyalibmu” tulis Kahlil Gibran dalam bukunya yang indah, Sang Nabi. Cinta. Bukankah segenap apa yang kita jalani dalam hidup ini mengandung elemen cinta? Keindahan persahabatan. Kelembutan keluarga. Kebencian terhadap lawan. Duka lara kehidupan. Cinta dapat mengarah ke luar maupun ke dalam diri kita sendiri. Kita ingin mencintai. Kita ingin dicintai. Dan reaksi diri kita tergantung pada seberapa besar sikap ingin mencintai dan dicintai itu dominan dalam sikap kita. Masing-masing mempunyai sisi yang berbeda.

    Jika sikap ingin mencintai yang lebih dominan maka kita dapat bersikap pasrah terhadap perbuatan orang-orang yang kita cintai. Kita lebih toleran dan memaklumi keadaan orang lain.
    Sebaliknya jika sikap ingin dicintai yang dominan, maka setiap perbuatan orang lain yang mengusik diri kita akan menjadi malapetaka bagi kita sendiri. Kita mudah merasa tersisih, merasa kesepian serta gusar atas tindakan orang lain yang tidak lagi mencintai diri kita. Kita ingin terus menikmati cinta yang diberikan kepada kita tanpa menyadari bahwa cinta itu kadang semu belaka. Dan apa gunanya sesuatu yang semu?

    Tetapi ada waktunya untuk belajar mencintai.
    Ada pula waktunya untuk menerima cinta.
    Hidup tidak mesti dipatok pada ukuran tetap. Memang jika kita menerima cinta, selayaknya pula kita memberi cinta. Tetapi kemudian, segala resiko darinya harus dapat dipertanggung-jawabkan bersama. Karena itu, perasaan duka, sesal dan marah atas kegagalan kita dalam memberi dan menerima cinta, janganlah membuat kita menjadi putus asa. Percayalah bahwa hidup tidak akan menjadi basi hanya karena kegagalan itu. Masih banyak, banyak orang yang dapat kita berikan cinta. Dan masih banyak pula orang yang akan mencintai kita. Jadi mengapa harus berduka berkepanjangan?

    Dengan perlahan dia sibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju jendela kamarnya. Diapun membuka lebar daun jendela dan membiarkan udara dingin yang segar memasuki dadanya. Di luar, di sudut jalan, dia melihat dua anak kecil sedang menjajakan koran. Dan dua orang nenek sedang berjalan, memakai baju usang, memikul buntalan yang nampak lebih besar dari tubuh mereka sendiri. Mereka saling bersenda gurau, melempar canda dan tertawa lebar walau dunia seakan melupakan mereka.
    Duka? Suka? Apalah artinya dibanding dengan keindahan hidup yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita? Bukankah yang perlu kita lakukan hanyalah menyebarkan harum cintaNya? Dan itu lepas dari kedirian kita sendiri saja. Maka tak guna menyesali segala sesuatu yang telah terjadi karena hari esok masih panjang menantang…..

    “Betapa aku terlalu mengasihani diriku sendiri. Aku hanya melihat ke dalam diriku saja tanpa mau mengetahui apa yang dialami orang-orang lain. Aku terlalu egois. Ternyatalah bahwa selama ini aku tidak mengenal diriku sendiri. Bukankah untuk memahami diri sendiri kita harus bercermin pada hidup orang lain juga? Dan jika dia telah pergi meninggalkan aku, toh, bukan aku sendiri saja yang telah mengalami hal ini. Tidak, yang perlu menyesali diri bukan aku, tetapi dia yang telah menolak untuk kuberikan cinta.
    Aku harus bangkit dan melihat ke luar lagi sekarang….” gumannya pelan. Maka dia pun menghapus air matanya dan melempar seulas senyum ke dunia luar. Kepada anak-anak penjaja Koran itu. Kepada nenek-nenek yang sedang bercengkerama itu. Dan kepada dirinya sendiri juga.

    0 komentar:

    Posting Komentar

     

    TV Channel

    google translate

    chat disini aja yuk ^^